Istilah matinya kepakaran saat ini semakin mencuat, terutama setelah munculnya banyak influencer. Banyak orang lebih percaya pada informasi yang disampaikan oleh influencer daripada pakar di bidangnya. Hal ini kemudian dikenal sebagai era post truth, di mana masyarakat lebih mempercayai informasi sensasional dari influencer tanpa dasar ilmiah daripada bertanya langsung kepada pakar. Menurut Angga Prawadika Aji S IP MA, seorang pakar komunikasi dari Universitas Airlangga, ada dua faktor utama yang menyebabkan munculnya era post truth.
Pertama, perkembangan politik, dan kedua, popularitas media sosial. Kedua faktor ini kemudian menjadi pemicu fenomena post-truth yang menimbulkan banyak perdebatan, salah satunya adalah matinya kepakaran. Media sosial turut berperan dalam menurunkan nilai keahlian seseorang. Mereka yang tidak memiliki keahlian namun sering tampil di media sosial cenderung lebih dipercaya daripada pakar yang jarang muncul di media sosial.
Menurut Angga, media sosial kini menjadi sumber masalah besar. Orang-orang tanpa kapabilitas atau keahlian tertentu dianggap memiliki otoritas yang sama dengan orang-orang yang memiliki dasar ilmu yang kuat. Masyarakat pun mulai menilai informasi berdasarkan jumlah likes, views, atau popularitas, bukan dari faktanya. Fenomena ini dapat mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan dan menciptakan bias antara opini dan fakta.