Media sosial X (Twitter) sedang ramai dengan unggahan warganet yang menawarkan jasa Strava, sebuah aplikasi pelacakan kebugaran dan olahraga yang sudah ada sejak tahun 2009. Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk melacak aktivitas lari, bersepeda, dan mendaki dengan menggunakan data GPS. Ketenaran Strava semakin meningkat seiring dengan tren berolahraga yang semakin populer, sehingga banyak pengguna yang senang membagikan pencapaian mereka di media sosial. Tapi, mengapa ada orang-orang yang menjadi joki Strava?
Menurut Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, fenomena joki Strava ini berkaitan dengan keinginan seseorang untuk diakui atas pencapaian yang mereka raih. Menurutnya, proses pengakuan atas pencapaian seseorang yang dianggap kompeten dalam suatu tindakan disebut sebagai kredensialis. Drajat menjelaskan bahwa saat ini masyarakat lebih tertarik pada simbol-simbol, seperti angka pencapaian di Strava, meskipun tidak selalu mencerminkan kemampuan fisik seseorang. “Seharusnya kemampuan seseorang sejalan dengan simbol yang ditampilkan, bukan justru bertentangan. Jadi, jika seseorang kuat dalam lari, maka di Strava harus terlihat begitu,” ujar Drajat.
Namun, faktanya orang-orang lebih tertarik pada apa yang tertulis di Strava daripada kemampuan sebenarnya dalam berolahraga. Drajat menyatakan bahwa ketidakpedulian terhadap kemampuan sebenarnya seseorang menciptakan kesenjangan antara realitas dan simbol. Joki Strava kemudian hadir untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan menawarkan jasa mereka. “Joki mengisi kesenjangan karena orang-orang tidak peduli pada simbol yang sebenarnya, yang penting adalah simbol yang mereka beli dari orang lain,” jelas Drajat.