Meskipun begitu, Drajat meyakini bahwa tren joki Strava ini kemungkinan tidak akan bertahan lama, karena berolahraga dan mencapai status tertentu bukanlah kebutuhan dasar seperti pendidikan. Di sisi lain, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menambahkan bahwa sejak internet muncul, orang memiliki kesempatan untuk menyembunyikan identitas mereka. Anonimitas di internet membuka peluang bagi seseorang untuk berbohong tentang diri mereka sendiri, terutama dengan adanya fitur-fitur media sosial seperti like, comment, dan share yang menjadi ukuran pengakuan publik.
Dalam konteks fenomena joki Strava, orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian publik melalui angka-angka yang mereka bagikan. Meskipun perhatian itu mungkin bersifat tidak nyata, namun tetap diinginkan karena merupakan bagian dari sifat kemanusiaan. Devie menyimpulkan bahwa dalam upaya bersaing untuk mendapatkan perhatian publik, orang-orang akan bekerja keras untuk mencapainya.
Dengan demikian, fenomena joki Strava ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara realitas dan simbol dalam dunia maya. Meskipun kemungkinan tren ini tidak akan bertahan lama, namun hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengakuan publik dan simbol-simbol dalam kehidupan sosial modern.