Belakangan ini, banyak yang mengajak untuk melakukan cancel culture terhadap artis, selebgram, dan pengusaha dengan inisial RA karena berbagai alasan. Hal ini bukan hal baru, beberapa artis sebelumnya juga pernah menjadi korban cancel culture karena berbagai alasan. Tidak hanya di Indonesia, di Amerika Serikat pun ada pejabat publik yang pernah terkena “cancel” karena perilaku dan ujaran kebencian di media sosial. Di Korea Selatan, juga sering terjadi kasus cancel culture pada artis mereka, seperti aktor yang dituduh memaksa mantan kekasihnya untuk melakukan aborsi janin.
Apa itu sebenarnya cancel culture? Secara harafiah, cancel culture dapat diartikan sebagai “budaya membatalkan”. Ini adalah perilaku di mana seseorang atau kelompok diberikan hukuman atau boikot karena perilaku atau tindakan yang dianggap salah. Cancel culture seringkali terjadi di media sosial, di mana orang-orang menarik dukungan mereka terhadap public figure atau selebritas yang melakukan hal-hal yang dianggap tidak dapat diterima secara sosial.
Cancel culture tidak hanya ditujukan kepada tokoh publik, namun juga bisa terjadi pada merek tertentu. Ketika sebuah merek melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap ofensif atau problematik, mereka pun bisa menjadi target dari cancel culture. Dampak dari cancel culture bisa sangat besar, baik dari segi kesehatan mental maupun ekonomi.
Bagi public figure yang terkena cancel culture, penting untuk melakukan introspeksi diri. Evaluasi tindakan yang dilakukan dan dampaknya terhadap masyarakat. Jika memang terbukti melakukan kesalahan, minta maaf secara terbuka di media sosial. Meminta maaf bukanlah tanda kelemahan, namun merupakan bentuk kebesaran hati untuk mengakui kesalahan.