Dalam era digital yang terus berkembang, teknologi komunikasi telah mengalami transformasi yang signifikan, terutama dengan munculnya platform media sosial. Salah satu platform yang telah menjadi ikon dalam revolusi ini adalah X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Sejak diluncurkan pada tahun 2006, X telah mengubah cara kita berkomunikasi, berbagi informasi, dan berinteraksi dalam dunia digital. Perjalanan X dari sebuah start-up sederhana hingga menjadi salah satu platform media sosial paling berpengaruh di dunia mencerminkan perubahan besar dalam lanskap komunikasi global. Platform ini telah menjadi tempat di mana berita menyebar dengan cepat, tren budaya populer terbentuk, dan diskusi publik berlangsung secara real-time. Keunikan X terletak pada kemampuannya untuk mendemokratisasi informasi, memungkinkan individu dari berbagai latar belakang untuk memiliki suara yang setara dalam percakapan global.
Komunikasi Massa di Era Digital
Teori komunikasi massa tradisional, seperti yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dengan model “Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect”, telah berkembang seiring dengan munculnya media sosial. Platform seperti X telah memperkenalkan konsep “many-to-many communication”, di mana setiap pengguna dapat menjadi produsen sekaligus konsumen informasi. Menurut teori “Uses and Gratifications” yang dikembangkan oleh Katz, Blumler, dan Gurevitch, pengguna media sosial aktif mencari konten yang memenuhi kebutuhan mereka, yang sangat tercermin dalam cara orang menggunakan X untuk mencari informasi, hiburan, dan koneksi sosial.
Selain itu, konsep “networked public sphere” yang diperkenalkan oleh Yochai Benkler menjadi sangat relevan dalam konteks X. Teori ini menjelaskan bagaimana platform media sosial menciptakan ruang publik baru di mana wacana dan pembentukan opini terjadi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. X, dengan struktur follower dan fitur retweetnya, memungkinkan informasi dan ide-ide untuk menyebar secara viral, menciptakan apa yang Manuel Castells sebut sebagai “mass self-communication”. Fenomena ini telah mengubah dinamika kekuasaan dalam komunikasi, memungkinkan individu dan kelompok kecil untuk mempengaruhi wacana publik dengan cara yang sebelumnya hanya mungkin dilakukan oleh institusi media besar.